Korelasi Habisnya Kopi dengan Semangat Menulis
Oleh: Ahmad Zahid Ali*
Ah,
sore ini. Sore yang cukup cantik meski tak ada sisa-sisa hangat matahari yang
akan segera berpulang. Tak ada suara riuh para santri saat sayonara mengakhiri
kelas sore. Semuanya lebih memilih menikmati halaman dengan senyum dan pikiran
masing-masing. Sederhana saja, hanya untuk memenuhi panggilan adzan maghrib
yang tak lama lagi. Tak ada suara keras nan lantang dari departemen bahasa saat
memimpin apel bahasa di halaman. Semuanya mensegerakan untuk memanjakan diri
dengan mandi dan bersih-bersih. Hujan yang mengguyur deras Depok sore ini
membikin segalanya tadi menjadi tidak ada. Tapi saya bersyukur, saya masih
diberi kesempatan untuk menikmati tiap rintik air hujan. Karena ini adalah
bagian dari rahmat Allah yang digelontorkan secara gratis dari langit untuk setiap
makhluk Allah di bumi. Dalam bahasa Jawa, hujan adalah jawoh, yang konon
merupakan singkatan dari “Jaa a rohmatulloh”, wus dateng opo rohmate Allah,
rahmat Allah sudah datang. Baik, saya tidak sedang ingin menuliskan tentang hujan.
Apalagi korelasi hujan dengan romantisme pasangan suami istri. Itu nanti,
karena saya pun belum tahu. Hanya saja, saya merasa beruntung karena bisa
menulis kembali. Jika di luar sana yang sedang terguyur hujan, maka hati inilah
yang membasah karena perasaan senang akan nikmat. Sore yang cantik.
Baik,
mari kita mulai dari sini. Jika Anda adalah termasuk orang yang meluangkan
waktu untuk membaca berita di media cetak seperti koran atau media online
hari-hari ini, mungkin Anda pernah menemukan potongan tulisan, “Budaya korupsi
memberikan dampak sistemik di semua lini”. Pressing point-nya ada di
dampak sistemik. Sistemik adalah kata sifat yang mempunyai asal kata sistem.
Jadi, dampak sistemik mempunyai makna dampak yang bersifat sistem. Lalu, apa
yang yang dimaksud dengan dampak yang bersifat sistem? Atau apa dan bagaimana
sistem itu? Atau bahkan dengan maksud apa saya berbicara mengenai sistem?
Baiklah, izinkan saya menyeduh kembali secangkir hangat kopi.
Sudah banyak definisi sistem
yang diberikan para pakar. Sederhananya, sistem ialah elemen-elemen yang saling
berinteraksi dan membentuk kesatuan yang utuh dan terpadu untuk mencapai tujuan
bersama. Jika yang kita bicarakan adalah sistem tubuh manusia, maka keberadaan
tangan, kaki, mata, mulut, telinga, hidung, dkk, adalah elemen-elemen yang
sedang membentuk kesatuan fungsi. Tentu Anda boleh membayangkan bagaimana tubuh
manusia bisa bekerja dengan baik dan memberikan fungsi jika tak dilengkapi mulut.
Tentu tidak bisa. Semenjak mulut menjadi
bagian dari sistem yang awalnya bekerja secara padu dengan elemen lainnya,
keberadaanya sangat vital. Tanpanya, tubuh manusia mendapatkan dampak buruk
secara sistemik. Artinya, elemen-elemen lain yang membentuk sistem tubuh
manusia tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya karena ditinggal mati mulut. Pasokan
logistik tak ada, pasokan energi tak ada. Ah, rasanya saya tak bisa
membayangkan bagaimana kehidupan Ratna bisa berarti baginya saat ditinggal
Galih dalam kisah romantisme yang sudah membentuk chemistry dengan kuat.
Anda pun boleh mencoba untuk membayangkan.
Secara sadar maupun tidak, kita
sebagai manusia berada dalam banyak lingkaran sistem. Sistem yang paling kecil
adalah tentang sistem tubuh manusia tadi. Saat Anda menjadi bagian dari
organisasi tertentu, maka Anda adalah salah satu elemen dari sistem organisasi
yang sedang Anda ikuti. Begitu pun juga dalam kehidupan kantor ataupuan lembaga
pendidikan. Saat Anda adalah termasuk manusia beruntung yang mendapatkan amanah
dari organisasi yang diiukti, maka selain menjadi entitas, Anda juga menjadi
bagian dari elemen sistem organisasi tersebut. Semua sistem tadi mempunyai
tujuan yang ingin dicapai. Dan jika Anda lari dari apa yang harus Anda lakukan
sebagai elemen sistem, tentu sistem akan mengalami kondisi yang tidak stabil.
Tujuan sangat mungkin sulit tercapai. Dan ekspektasi dari pihak yang menjadi stakeholder
dari sistem tersebut mempunyai probabilitas kecil untuk terwujudkan. Oleh
karena itu, tulisan ini bermaksud mengajak penulis sendiri, juga rekan semua
untuk melakukan dua hal agar sistem yang sedang kita ikuti bisa berjalan dengan
baik. Agar elemen lain selain kita tidak menanggung beban berat yang kita
sebabkan. Agar tujuan dari sistem yang kita ikuti tercapai. Dan dua hal tadi
ialah: berpola pikir sistem dan berpola tindak sistem. Ah, rasanya
memang terlalu banyak kata sistem yang saya sebut di sini.
Yang pertama adalah berpola
pikir sistem. Yang sedang saya maksudkan adalah kita mengkonstruk pola pikir
kita bahwa kita adalah bagian dari sistem yang kita ikuti. Baik buruknya
kinerja sistem yang kita ikuti, kita ikut ambil bagian menjadi sebab atas
akibat yang terjadi. Namun, sebagai manusia, kadang kita pun berada pada roda
bagian bawah tentang ghirroh atau bahasa kerennya, low motivation.
Lha wong iman wae kadang munggah-mudun. Kondisi seperti ini sialnya
mampu menggiring kita untuk berpikir egois. Kita menjadi tidak berpartisipasi
menjadi elemen dari sistem yang kita ikuti. Alih-alih kita menghiraukan dan
sesekali masih bertanya dan melihat berjalannya sistem yang pincang oleh kita,
kadang kita benar-benar pergi dan berkata dengan bibir agak menonjol ke depan, alah
mboh. Fenomenana ini saya sebut sebagai mutungisasi. Lalu lihatlah
apa yang terjadi, bolongnya elemen yang kita tempati berdampak secara sistemik
dan menyebabkan eleman lain menanggung dosa. Dan akhirnya ekspektasi yang
dianggap tujuan bersama benar-benar sulit terwujud.
Saran saya, jika kita sedang mengalami mutungisasi,
maka kita bisa merekonstruk pola pikir akan sistem. Agama memberikan porsi
lebih kepada keberlangsungan kehidupan sosial. Termasuk larangan memberikan
sakit kepada manusia lain. Mutungisasi membuat orang lain sakit. Dia
akan ikut menambal bolong yang Anda tinggalkan. Atau bahkan menjadi tak
dihiraukannya kemudian titik yang menjadi tujuan bersama tak pernah tercapai
meski ia sudah melakukan tugasnya dengan baik, bahkan sangat baik. Dan itu
sangat tidak dibenarkan. Jadi, mari melaksanakan setiap apa yang harus kita
lakukan sebagai elemen sistem yang kita ikuti. Tentu melaksanakan dengan cara
terbaik. Dan mempolakan kembali pikir
kita terhadap sistem akan sangat membantu stabilitas sistem.
Yang kedua adalah berpola tindak
sistem. Yang sedang saya maksudkan adalah kita sebagai elemen sistem bertindak
sebagaimana harusnya sebagai elemen sistem. Sebenarnya yang kedua ini langkah
selanjutnya dari yang pertama, berpola pikir sistem. Setelah kita mampu berpola
pikir sistem, maka secara otomatis kita realisasikan dengan berpola tindak
sistem. Maka keduanya menjadi penting untuk setiap manusia. Karena pada
fitrahnya, manusia berada di dalam lingkaran banyak sistem.
Dan ah, ada satu hal yang
sangat tidak saya sukai. Saat kopi tak lagi hangat karena sudah habis. Gelas
pun tinggal sisa-sisa kopi yang mengendap di bawah. Sistem produktifitas
menulis saya pun limbung. Salah satu dampak sistemiknya adalah tangan menjadi
sulit hanya untuk sekedar pencet keyboard. Saya harus segera mengakhiri
menulis. Tak ada kopi, semangat menulis pun meredup. Begitulah korelasi antara
habisnya kopi dengan semangat menulis. Tapi sebentar, saya hanya akan
mengajukan kepada saya dan siapa pun yang membaca pertanyaan ini. Sudahkah kita
menjadi elemen yang memberikan peran terbaik di setiap sistem yang kita
ikuti? Allohua`lam. Semoga tergerak!!
*staf pengajar di Al-Nahdlah


ngopi dulu Kang
ReplyDeleteMari-mari. :-)
ReplyDeleteOCHE ustad
ReplyDeleteGANBATTE YUA TAD